Dengan bangga dibuat dengan ♥ di Polandia
Karya Tien Kumalasari
Murni baru saja pulang dari bekerja. Dengan perut semakin besar, ia menjadi semakin gampang merasa lelah. Ia sedang rebahan di ranjang, ketika ibunya menelpon.
“Ya Mur, ini simbok. Sedang apa kamu?”
“Sedang rebahan di kamar Mbok.”
“Sebetulnya simbok pengin itu lho Mur, kalau telponan, bisa kelihatan wajahnya itu lho, jadi simbok bisa melihat wajah kamu.”
“O, iya Mbok, sebetulnya bisa, tapi kan ponsel simbok itu jadul. Jadi nggak bisa dibuat vidio call, besok, kapan-kapan, Murni belikan Simbok ponsel yang bisa untuk video call ya.”
“Iya, sekarang ini, yang penting bisa ngomong, biarpun berjauhan. Dan yang penting juga, Simbok sehat. Ya kan?”
“Iya, kamu juga harus sehat lho Mur, dan jangan terlalu capek.”
“Iya Mbok. Bagaimana kabar pak Broto dan bu Broto?”
“Waduh Mur, bu Broto tadi dibawa ke rumah sakit.”
“Ceritanya panjang Mur. Tadi itu, pagi-pagi sekali pak Restu datang.”
Murni langsung merasa mual mendengar nama Restu disebut. Tapi dia harus mendengar simboknya bicara, agar simboknya tidak curiga.
“Masih pagi sekali, gerbang masih digembok. Simbok keluar lebih dulu mendengar gerbang diketuk-ketuk, ternyata yang datang pak Restu. Ya ampun Mur, simbok kabet banget. Tiba-tiba pak Restu merangkul simbok sambil menangis, dan bilang minta maaf berkali-kali. Simbok jadi bingung, kenapa dia minta maaf sama simbok.”
“Lalu dia bilang apa lagi?” Murni terpaksa menyahut, khawatir kalau simboknya mencurigai sesuatu.
“Dia terus meminta maaf, lalu simbok bertanya, ada apa minta maag=f sama yu Sarni?”
“Dia jawab apa?” potong Murni lagi.
Dia belum menjawab, tapi pak Broto sudah berteriak memanggil.”
Murni bernapas lega. Memang tampaknya simboknya tidak tahu apa-apa tentang kejadian itu.
Lalu yu Sarni bercerita tentang kemarahan bu Broto yang entah karena apa, lalu tiba-tiba sakit danpak Broto membawanya ke rumah sakit. Mungkin karena pak Restu tidak bermaksud pulang ke rumah.
“O, ya ampun. Murni jadi sedih. Ingin melihat bu Broto.”
“Ya, sudah Mur, nanti simbok kabari kalau ada apa-apa. Kamu harus jaga diri baik-baik ya.”
“Ya. Simbok juga ya.”
Murni meletakkan ponselnya dan menghela napas lega. Siapa suruh dia berbohong sama simboknya. Bukankah demi menutupi kebohongan yang satu maka dia harus berbohong lagi dan lagi? Ini terasa sangat melelahkan.
Usia kandungan sudah lima bulan, dan dia merasa sehat-sehat saja. Ia mengelus perutnya perlahan, dan rasa sayangnya kepada bayi yang dikandungnya bertambah besar. Tiba-tiba ia teringat kata Wulan, bahwa bayi yang kelak dilahirkannya akan menjadi anak Wulan. Murni terus mengelus perutnya, lalu air matanya menitik tiba-tiba. Bayi ini darah dagingnya. Ketika dia ingin melenyapkannya, adalah dosa. Bagaimana kalau dia kemudian menyerahkannya kepada orang lain? Rasa sesal menggayuti hatinya. Ia mendekap perutnya erat.
“Tidak, ini bayiku, hat=rus aku yang merawatnya. Tetaplah aku yang menjadi ibunya, gumamnya pelan.
Dan perubahan perasaan itu membuatnya tak rela melepaskannya kelak.
Lalu dia teringat kata simboknya ketika menelpon tadi, bahwa Restu meminta maaf kepadanya, serta nyaris mengatakan sebabnya, kalau saja pak Broto tidak memanggilnya. Pasti Restu akan mengulanginya, apalagi beberapa hari yang lalu ia bertemu Restu, dan kemudian Restu seperti ingin mengejarnya. Meremang bulu kuduk Murni membayangkan bertemu dengan Restu. Ingatan akan malam yang menyakitkan itu, membuat rasa bencinya tak akan bisa terobati selamanya.
“Apa yang harus aku lakukan?”
Murni sangat gelisah, dan keinginan untuk melepaskan lelah justru membuatnya kelelahan. Lelah lahir dan juga batinnya.
Wulan masih menunggui bu Broto yang tampak tidak tenang. Ia memejamkan matanya dan berusaha tidur, tapi sebentar kemudian terjaga.
“Bapakmu belum kembali?”
Bu Broto tampak gelisah. Raut mukanya menjadi pucat tak bersemangat.
“Bapakmu kan bilang, kalau belum menemukan Restu tidak akan pulang?”
“Bagaimana kalau sampai berhari-hari kemudian ternyata memang tidak bisa menemukan?”
“Ibu tenang saja. Bapak pasti bisa menemukan kok,” hibur Wulan.
“Kamu jangan menganggap enteng masalah ini Wulan. Bapakmu itu, kalau ngomong, selalu ditepatinya. Kalau dia bilang tidak akan pulang sebelum menemukan Restu, pasti dia benar-benar tak akan pulang.”
“Bagaimana kalau Ibu menelpon bapak?”
“Aduh, masa aku harus menelpon?”
“Memangnya kenapa? Ibu minta saja pada bapak, agar cepat pulang, bertemu mas Restu atau tidak, begitu,” goda Wulan yang tampak tenang, karena dia yakin bahwa mereka pasti bisa menemukan Restu karena Rio tahu dimana Restu berada.
“Kok nggak mau? Bukankah Ibu berharap bapak segera pulang?”
“Malu aku,” kata bu Broto sambil memalingkan wajahnya.”
“Kok malu sih Bu, menelpon suami sendiri kok malu,”
“Seharian aku memarahinya, kalau tiba-tiba aku menelpon, ya malu-lah.”
Wulan tertawa, agak keras tawanya, karena benar-benar geli melihat sikap bu Broto.
“Ibu ada-ada saja. Kalau memang Ibu merindukan bapak, Ibu minta agar bapak pulang saja dong.”
“Nggak mau,” bu Broto cemberut, Wulan bertambah geli.
Ketika itulah terdengar ketukan di pintu, lalu Rio masuk. Hanya Rio. Bu Broto tampak menunggu, tapi memang hanya Rio yang masuk.
“Mana bapak?” tanya bu Broto kepada Rio.
“Apa bapakmu tidak mau pulang? Apa Rio tidak ketemu sehingga bapakmu tidak mau pulang?” tanya bu Broto dengan wajah cemas.
Rio mendekati bu Broto, dan memegangi lengannya sambil tersenyum.
“Rio, tolong bilang sama Bapak, besok bisa berangkat mencari lagi, tapi sebaiknya sekarang pulang dulu.”
“Ibu kangen ya sama bapak?” entah siapa yang menyuruh, tiba-tiba Rio kompak mengganggu bu Broto.
“Rio, kamu ini bilang apa? Ya iya lah ibu kangen, bapakmu itu kan suami ibu,” kesal bu Broto.
Tiba-tiba pak Broto muncul.
“Benar, Ibu kangen sama bapak Sudah nggak marah lagi?”
Nah, kok kompak semua nih, gangguin bu Broto.
Bu Broto memalingkan wajahnya, menyembunyikan rasa lega melihat suaminya pulang.
“Bu, bapak senang lho, ibu tidak marah lagi sama bapak. Kok wajahnya menghadap ke sana sih. Jangan bilang ibu masih marah ya, kan ibu bilang kangen tadi,” goda pak Broto sambil berjalan memutar, sehingga bisa menatap wajah bu Broto.
“Jangan senang dulu ya, pokoknya Bapak harus bisa membawa Restu kemari,” ketus bu Broto.
“Bagaimana kalau tidak ketemu, bapak nggak boleh pulang ya. Memang itu keinginan bapak kok.”
Tiba-tiba bu Broto meraih tangan suaminya, menggenggamnya erat.
“Maafkan ibu ya,” katanya lirih, menahan malu.
Rio dan Wulan saling pandang, menahan tawa melihat kemesraan sepasang suami istri yang sudah tidak lagi muda. Mereka pasangan serasi yang selalu menampakkan kasih sayang di setiap harinya. Itu sebabnya Wulan agak heran ketika melihat ibunya sangat marah kepada suaminya. Dan ternyata mereka memang tak bisa menyembunyikan kasih sayang yang selalu terjaga.
“Kalau benar Ibu memaafkan bapak, bapak akan memberi ibu hadiah.”
“Hadiah apa? Ibu tidak suka hadiah lagu, suara bapak tuh sudah nggak merdu, sember, jelek.”
“Baiklah, bukan lagu, ada yang lain kok. Pejamkan dulu mata ibu.”
Seperti anak kecil, bu Broto juga memejamkan matanya.
“Awas ya, jangan dulu di buka, sebelum bapak memintanya.”
Bersambung ke Jilid 34
Your cart is currently empty.
Enable cookies to use the shopping cart
Karya Tien Kumalasari
Wulan dan Rio saling pandang dengan tersenyum lucu, melihat ulah pak Broto dan bu Broto. Mereka kemudian melihat Restu memasuki ruangan setelah pak Broto memberi kode.
Restu berjingkat mendekati pak Broto, dan tersenyum lebar melihat bu Broto memejamkan matanya.
“Sudah apa belum? Sudah capek nih, aku,” seru bu Broto tanpa berani membuka matanya.
“Baiklah Bu, sekarang ibu boleh membuka mata, karena hadiahnya sudah siap di depan ibu.”
Bu Broto membuka matanya perlahan, membayangkan sebuah bungkusan dengan pita merah yang dirangkai seperti bunga mawar. Tapi ia tak melihat bungkusan itu. Yang ada adalah sesosok bayangan seorang laki-laki tampan yang menatapnya haru.
“Inilah hadiah buat Ibu,” kata pak Broto sambil merangkul pundah Restu.
Lalu Restu merangkul ibunya yang kemudian menitikkan air mata karena haru dan bahagia.”
“Syukurlah kamu ditemukan Restu, kalau tidak, bapakmu tak akan pulang,” kata bu Broto sambil masih terus merangkul anaknya.
“Wulan, katakan pada dokter, aku mau pulang. Aku ingin masak yang enak untuk Restu.”
“Bu, ini sudah malam, dokternya sudah pulang,” kata Wulan.
“Aku tidak sakit, mengapa dibawa ke sini?”
“Besok kalau dokternya visite kemari, ibu boleh bilang sama dokternya. Kalau Ibu sudah dinyatakan sehat, pasti diijinkan pulang.”
“Aku kan tidak sakit, ini akal-akalan ayah kamu saja.”
“Ibu tidak tahu ya? Tadi tuh ibu sampai lemas, dan agak panas. Mana bisa aku membuarkannya.”
“Aku lemas, karena tidak makan seharian,” kata bu Broto sambil memegangi perutnya, membuat semua orang tertawa.
“Bolehkah keluar? Aku mau makan di luar.”
“Tidak boleh Bu, kan Ibu masih diinfus? Ibu ingin makan apa, nanti Rio belikan. Untuk makan bersama-sama disini,” kata Rio. Wulan ikut mengangguk setuju.
“Ide bagus, aku juga lapar,” kata pak Broto.
Rio menggamit lengan istrinya, kemudian keduanya keluar dari ruangan.
“Restu, apa kamu menyesal karena telah tidak mempedulikan istri kamu selama hidup bersama?”
“Banyak yang Rio sesali. Banyak yang hilang dari impian Restu, tapi Restu tidak menyesalinya. Ini adalah jalan hidup Restu, dan Restu harus menjalaninya. Nyatanya Restu menemukan ketenangan yang lebih, dan belum pernah Restu rasakan sebelum ini.
“Senang sekali ibu mendengarnya.”
“Bu, sebenarnya Restu ini telah menemukan jalan hidupnya. Dia sekarang menjadi pimpinan sebuah perusahaan dan hidup nyaman walau tidak berlimpah harta,” kata pak Broto.
“Perusahaan apa itu?”
“Iya Bu, dan itu juga atas kebaikan Rio. Restu menyesal dulu sangat merendahkan Rio, ternyata dia bukan orang sembarangan, dan telah mengentaskan hidup Restu sehingga Restu bisa makan enak, dan tidur nyenyak.”
Lalu Restu menceritakan semua yang dialaminya kepada sang ibu, yang mendengarkannya penuh perhatian. Tentu saja bu Broto terkejut, tidak mengira Rio telah melakukan sesuatu yang penuh makna kepada orang yang dulu selalu merendahkannya. Bu Broto bersyukur, anak semata wayangnya bisa berbuat sesuatu yang sangat berlawanan dengan masa lalunya, dan benar-benar menyadari semua kesalahannya.
“Kamu akan kembali ke rumah kan Restu?” tanya ibunya menahan haru.
Restu merangkul ibunya.
“Restu akan sering datang menemui Ibu, tapi Restu tetap akan tinggal di bengkel, karena Restu memiliki tanggung jawab besar atas mengkel itu.”
Bu Broto tampak kecewa, tapi dia merasa senang karena Restu telah menjadi orang yang bertanggung jawab.
“Ibu, sekarang Restu ingin bertanya.”
“Bertanyalah, tentang apa?”
“Tentang Murni,” kata Restu sambil menundukkan wajahnya. Bayangan malam buruk itu kembali melintas, menghantam dadanya dan terasa sakit.
Bu Broto menatap suaminya, yang berdiri termangu di sampung Restu, saat Restu menyebut nama Murni.
“Kamu tahu apa yang terjadi atas dia?” tanya pak Broto.
“Restu pernah bertemu, beberapa minggu yang lalu. Apa dia sudah menikah?”
“Menikah? Itukah menurutmu?”
“Restu tidak tahu. Saat melihatnya, dia langsung kabur. Jadi Restu tidak sempat bicara, padahal Restu ingin mengatakan sesuatu.”
“Tidak bisa di sangkal, dia pasti benci sama kamu.”“Restu melihat perutnya besar, itu sebabnya Restu bertanya, apakah dia menikah?”
“Tidak. Bayi yang dikandung itu adalah darah dagingmu,” kata pak Broto, sementara bu Broto kembali berlinang air mata.
“Ya Tuhan,” keluh Restu sambil menundukkan wajahnya.
“Apa yang akan kamu lakukan?” tanya pak Broto.
“Di mana dia sekarang? Waktu Restu ketemu, dia tidak di tempat yang dekat dengan rumah.”
“Dia menjauh, dan berbohong sama simboknya, jadi dia berbohong, mengatakan pergi bekerja di Jakarta.”
“Sesungguhnya dia di sini saja?”
“Ya. Dia bekerja di kantornya Rio. Tidak di rumah Wulan untuk sementara, pastinya smpai anaknya lahir.”
“Apa yang ingin kamu lakukan?”
“Restu ingin bertemu dia, dan menikahinya,” katanya lirih.
Pak Broto merangkul pundah Restu penuh haru. Ia bangga anaknya punya rasa tanggung jawab atas apa yang telah dilakukannya.
“Tapi dia sangat benci sama kamu, Restu,” kata bu Broto lirih.
“Restu akan menemuinya dan mencoba bicara.”
“Semoga yang terbaik untuk kalian Nak, ibu bangga kamu bisa melakukan hal yang seharusnya kamu lakukan,” kata bu Broto sambil mengusap air matanya.
Pagi itu Murni sedang bersiap untuk merangkat bekerja. Ia sedang makan pagi dengan lahap. Heran juga Murni, mengapa semakin besar kandungannya, semakin besar juga nafsu makannya. Ia menghabiskan sepiring nasi dan saemangkuk sup, yang dimasaknya pagi sebelum mandi.
Tiba-tiba ponselnya berdering.
“Dari bu Wulan,” gumam Wulan sambil meraih ponsel yang terletak di meja.
“Murni?” sapa Wulan dari seberang.
“Lagi ngapain, kamu Mur? Sudah mandi kah?”
“Sudah mandi Bu, baru selesai sarapan, lalu mau berangkat bekerja.”
“Oh, syukurlah. Aku hanya ingin bilang, nanti sore jadwal kamu kontrol kan>”
“Iya Bu. Tapi bu Wulan tidak usah repot-repot mengantarkan, saya bisa berangkat sendiri.”
“Tapi aku ingin melihat dengan mata kepalaku sendiri, bagaimana wajah anak laki-lakiku,” kata Wulan bersemangat. Tapi entah mengapa, perkataan Wulan itu membuat Murni merasa tidak senang. Kata ‘anakku’ terasa sangat sumbang di telinga Murni. Perlahan dia mengelus perutnya, dan berbisik dalam hati, kamu anakku bukan? Bukan anak siapa-siapa.
“Murni, kamu masih di situ?” seru Wulan karena Murni diam beberapa saat lamanya.
“Oh, eh … iya Bu, ini … sambil mengangkut piring kotor ke tempat cucian.
“Baiklah, jam berapa nanti periksa? Seperti biasanya kan?”
“Ya, tapi saya kira saya akan sendiri saja, tidak usah bu Wulan mengantarkannya.”
“Mengapa Murni? Kamu tidak suka?”
“Bukan, Nggak enak saja karena merepotkan bu Wulan, sementara saya bisa melakukannya sendiri.”
“Murni, kamu lupa bahwa yang kamu kandung adalah anakku?” kata Wulan sambil tertawa.
Tapi kembali perkataan itu membuar Murni merasa tidak suka.
“Ya sudah Bu, maaf, saya akan segera masuk kerja, takut terlambat.”
“Sebentar Murni, aku ingin mengatakan sesuatu.”
“Mas Restu ingin menemui kamu.”
“Tidak, saya tidak mau ketemu dia,” katanya tandas.
Murni meletakkan ponselnya, dan merenung sejenak. Sungguh Murni tidak suka, Wulan ikut campur dalam memikirkan kandungannya. Sekarang Murni sedang berpikir, bagaimana caranya mencegah Wulan menjamah apalagi menguasai anaknya. Apalagi Wulan mengatakan bahwa Restu ingin menemuinya. Tidak, Murni tidak mau melihat tampang laki-laki yang telah merobek masa depannya menjadi kepingan-kepingan kecil yang berterbangan dan rapuh saat angin menerpanya.
“Aku harus pergi,” gumamnya sambil bersiap pergi bekerja.
Bersambung ke Jilid 35
Your shopping cart is empty!
Kemalasan (bahasa Inggris: sloth, bahasa Latin: acedia) adalah salah satu dosa dari antara tujuh dosa pokok. Kemalasan dipandang sebagai dosa yang paling sulit untuk didefinisikan, dan untuk digolongkan sebagai dosa, karena mengacu pada pencampuradukan gagasan-gagasan khas dari zaman kuno seperti keadaan mental, spiritual, patologis, dan fisik.[1]
Kata Inggris sloth dikatakan berasal dari istilah Latin acedia atau accidia (bahasa Inggris Pertengahan: accidie) dan berarti "tanpa peduli". Secara rohani, acedia pertama-tama mengacu pada suatu penderitaan atau kesusahan yang melingkupi umat beragama, terutama para biarawan atau rahib, yang karenanya mereka menjadi tidak acuh pada tugas-tugas dan kewajiban-kewajiban mereka kepada Allah. Secara mental, acedia memiliki sejumlah komponen khas; komponen yang dipandang paling penting adalah kekerasan hati atau ketidakpekaan, yakni kurangnya perasaan apa pun terkait diri sendiri atau orang lain, suatu keadaan budi yang menimbulkan kebosanan, dendam, apati, dan suatu kelembaman pasif atau pemikiran lamban. Secara fisik, acedia pada dasarnya dikaitkan dengan penghentian gerak dan ketidakpedulian untuk bekerja; pengungkapannya didapati dalam tindakan kemalasan, pengangguran, dan penghindaran aktivitas.[1]
Dalam bahasa Indonesia, istilah acedia dalam konteks dosa pokok biasa diterjemahkan menjadi "kemalasan" atau "malas".[2] Terjemahan lain yang dipandang memungkinkan adalah "ketidakpedulian", namun kata "kelambanan" dan "kejemuan" dianggap sebagai terjemahan-terjemahan yang kurang tepat dari istilah acedia.[3]
Dalam karyanya, Santo Thomas Aquinas mendefinisikan kemalasan sebagai "kesedihan dalam hal kebaikan rohani" dan sebagai "kelesuan budi yang melalaikan untuk memulai kebaikan". Kesedihan atau kesusahan hati tersebut adalah juga "jahat dampaknya, apabila kesedihan itu sedemikian membebani manusia dalam hal menjauhkan dia sepenuhnya dari perbuatan-perbuatan baik."[4] Menurut Katekismus Gereja Katolik, "acedia atau kemalasan rohani lebih jauh lagi menolak sukacita yang berasal dari Allah dan membenci kebaikan ilahi."[5]
Kemalasan juga berarti tidak lagi memanfaatkan tujuh karunia Roh Kudus (Hikmat, Pengertian, Nasihat, Pengetahuan, Kesalehan, Keperkasaan, dan Takut akan Tuhan); ketidakpedulian tersebut dapat mengakibatkan terhambatnya kemajuan rohani seseorang untuk sampai pada kehidupan kekal, pengabaian tugas-tugas melakukan amal kasih kepada sesama, dan kebencian terhadap orang-orang yang mengasihi Allah.[6]
Kemalasan merupakan dosa pelalaian (omission) yang adalah juga dosa pelaksanaan (commission), dapat ditimbulkan dari dosa-dosa pokok lainnya. Sebagai contoh, seorang anak mungkin saja mengabaikan kewajibannya kepada orang tuanya karena kemarahan. Kendati keadaan kemalasan dan kebiasaan kemalasan tergolong sebagai dosa berat, kebiasaan ataupun keadaan dari jiwa yang condong ke arah keadaan kemalasan berat tahap akhir belum tentu merupakan dosa berat, kecuali dalam kondisi tertentu.[6]
Dalam Filokalia, kumpulan naskah kuno dari tradisi Ortodoks Timur, digunakan istilah dejection (kekecewaan atau kepatahan hati) sebagai ganti istilah sloth (kemalasan), karena orang yang jatuh ke dalam kekecewaan akan kehilangan minat dalam hidupnya.
Wikimedia Commons memiliki media mengenai
Halaman ini berisi artikel tentang bidadari dalam kepercayaan Hindu. Untuk bidadari dalam Islam, lihat
Bidadari (Dewanagari: विध्यधरी; ,IAST: Vidhyadharī,; juga disebut dengan istilah apsara atau apsari[1]) menurut kepercayaan Hindu, adalah makhluk gaib berwujud manusia berjenis kelamin wanita yang tinggal di kahyangan (surga) dan menjadi istri para gandarwa.[2] Kepercayaan tersebut juga tersebar di kawasan yang mendapatkan pengaruh Hindu, antara lain Asia Selatan dan Tenggara.[3]
Tugas dan fungsi mereka, menurut agama Hindu, adalah menjadi penyampai pesan para dewa kepada manusia, sebagaimana para malaikat dalam kepercayaan Semit. Adakalanya mereka diutus untuk menguji sejauh mana ketekunan seseorang (pria) dalam bertapa, dengan cara mencoba membangunkan para petapa dari tapa mereka. Para bidadari memanfaatkan kecantikan fisik mereka untuk menguji para petapa.
Kata "bidadari" dalam bahasa Melayu dan Indonesia (demikian pula kata hapsari atau widodari dalam bahasa Jawa, serta kata widyadari atau dedari dalam bahasa Bali) merupakan kata serapan dari bahasa Sanskerta.[4] Kata "bidadari" berasal dari kata vidyadhārī, yang merupakan bentuk feminin dari kata vidyadhāra (Dewanagari: विद्यधार), artinya "Pembawa Pengetahuan". Vidhya berarti "pengetahuan", sedangkan dharya berarti "pemilik", "pemakai" atau "pembawa". Istilah Vidhyadhari tersebut kemudian dikenal sebagai "bidadari" dalam bahasa Indonesia modern.
Dalam susastra Hindu, kata "apsara" lebih sering digunakan daripada bidadari. Akar kata apsara yaitu apsaras (अप्सरस्). Bentuk kata benda tunggalnya adalah apsarās (अप्सरास्), atau apsarāḥ (अप्सरा), yang kemudian menjadi apsarā. Kamus Monier-Williams menyatakan etimologi sebagai berikut: अप् (ap) + √सृ (sṛ), "berkelana di perairan atau di antara perairan awan-awan".[2]
Orang Sunda menyebut bidadari dengan nama Pohaci. Dalam agama Hindu dan Buddha, mereka lebih dikenal sebagai apsara.
Dalam penampilan fisik, mereka memang dilukiskan sebagai sosok yang sangat cantik jelita dan sempurna tanpa cela. Tak jarang mereka diberikan kepada seseorang untuk diperistri sebagai hadiah atas jasa mereka melakukan sesuatu yang luar biasa demi kebaikan, misalnya dalam legenda Arjuna yang dijodohkan dengan bidadari Supraba setelah berhasil menumpas Niwatakawaca yang meneror para dewa dan manusia.
Dalam kitab Regweda ada cerita tentang seorang bidadari yang merupakan istri seorang bidadara; namun, Regweda juga mengakui keberadaan bidadari yang jumlahnya lebih dari satu. Bidadari yang paling istimewa bernama Urwasi. Ada sebuah himne yang mengandung percakapan antara Urwasi dan kekasihnya dari golongan manusia bernama Pururawa.[5] Kemudian, banyak sastra Hindu yang menyatakan adanya banyak bidadari, yang bekerja sebagai dayang-dayang Indra atau sebagai penari di kahyangan.[6]
Pada kisah-kisah yang terkandung dalam Mahabharata, bidadari muncul sebagai peran pembantu yang utama. Wiracarita tersebut mengandung beberapa daftar tentang bidadari terkemuka, tetapi tidak selalu sama. Ada sebuah daftar bidadari dalam Mahabharata, yang juga memberikan deskripsi bagaimana aksi penari kahyangan saat muncul ke hadapan penghuni dan tamu kahyangan:
Gretaci dan Menaka dan Ramba dan Purwaciti dan Swayampraba dan Urwasi dan Misrakesi dan Dandagori dan Warutini dan Gopali dan Sahajanya dan Kumbayoni dan Prajagara dan Citrasena dan Citraleka dan Saha dan Maduraswana, mereka dan ribuan bidadari lainnya, memiliki mata seperti daun teratai, yang pekerjaannya merayu hati seseorang yang bertapa dengan khusuk, menari di sana. Dan dengan memiliki pinggang yang ramping, besar dan molek, mereka mulai melakukan berbagai gerakan, menggoyang buah dadanya yang mekar, dan mengedipkan mata ke sekelilingnya, dan melakukan atraksi menarik lainnya yang mampu mencuri hati dan membuai pikiran orang yang menontonnya.[7]
Kitab Mahabharata juga menceritakan tindakan berani yang dilakukan oleh bidadari, seperti misalnya Tilottama, yang menyelamatkan dunia dari keganasan dua raksasa bersaudara, Sunda dan Upasunda. Selain itu ada kisah Urwasi, yang mencoba merayu Arjuna.
Kisah maupun tema yang sering muncul dalam Mahabharata adalah tentang seorang bidadari yang dikirim untuk merayu seorang pertapa atau rohaniwan dari pertapaannya yang khusuk. Sebuah kisah yang mengandung tema seperti ini, dinarasikan oleh seorang wanita bernama Sakuntala untuk menceritakan asal-usulnya.
Natyasastra, kitab untuk mempelajari drama dalam bahasa Sanskerta, memiliki daftar bidadari: Manjukesi, Sukesi, Misrakesi, Sulocana, Sodamini, Dewadatta, Dewasena, Manorama, Sudati, Sundari, Wigagda, Wiwida, Budha, Sumala, Santati, Sunanda, Sumuki, Magadi, Arjuni, Sarala, Kerala, Dreti, Nanda, Supuskala, Supuspamala dan Kalaba.
Gambar bidadari ditemukan dalam beberapa kuil/candi dari zaman Jawa Kuno, sekitar masa wangsa Sailendra sampai kerajaan Majapahit. Biasanya gambar mereka tidak ditemukan sebagai motif penghias, tetapi sebagai ilustrasi sebuah cerita dalam wujud relief, contohnya di Borobudur, Mendut, Prambanan, Plaosan, dan Penataran. Di Borobudur, bidadari digambarkan sebagai wanita kahyangan yang cantik, dan digambarkan dalam posisi berdiri maupun terbang, biasanya memegang teratai yang mekar, menaburkan kelopak bunga, atau menenun pakaian kahyangan yang mampu membuat mereka terbang. Candi Mendut di dekat Borobudur menggambarkan sekelompok dewata, makhluk surgawi yang beterbangan di kahyangan, termasuk bidadari.
Secara tradisional, bidadari digambarkan sebagai wanita kahyangan yang menghuni surga Dewa Indra (Jawa: Kaéndran). Mereka dikenal sebagai pelaksana tugas istimewa, yaitu dikirim ke bumi oleh Indra untuk merayu, menggoda dan menguji keimanan para pertapa yang mungkin berkat tapa, mereka dapat memperoleh kekuatan melebihi para dewa. Tema ini sering muncul dalam tradisi Jawa, misalnya Kakawin Arjunawiwaha, ditulis oleh Mpu Kanwa pada tahun 1030, selama masa pemerintahan Raja Airlangga. Kisah itu bercerita tentang Arjuna, yang sedang berusaha mengalahkan raksasa Niwatakawaca, mencoba bertapa dan bermeditasi. Maka dari itu, Indra mengirim beberapa apsara untuk mengujinya. Bagaimanapun juga, Arjuna dapat mengendalikan nafsunya dan kemudian memperoleh senjata sakti dari para dewa untuk mengalahkan sang raksasa.
Legenda Jaka Tarub merupakan cerita rakyat dari Jawa Tengah yang mengisahkan tentang pemuda bernama Jaka Tarub yang nekat mencuri selendang seorang bidadari dari kahyangan bernama Nawang Wulan lalu menikahinya. Dari pernikahan tersebut, mereka dikaruniai seorang putri bernama Nawangsih. Dalam naskah Babad Tanah Jawi, tertulis bahwa Jaka Tarub, Nawang Wulan, dan Nawangsih adalah leluhur dari keluarga Kesultanan Mataram.
Dalam Kakawin Arjunawiwāha, dikisahkan Arjuna diutus oleh Batara Indra untuk membunuh raja raksasa bernama Niwatakawaca, karena Niwatakawaca mengancam akan memporakporandakan kahyangan dan bumi. Kemudian, Batara Indra mengutus tujuh oranh bidadari untuk menguji Arjuna yang bertapa. Dari tujuh bidadari itu, Batara Indra mengutus seorang bidadari bernama Supraba untuk menemani Arjuna dalam menjalankan misinya karena Supraba adalah kelemahan dari Niwatakawaca. Setelah Arjuna berhasil membunuh Niwatakawaca, Arjuna menikah dengan Supraba.
Tradisi Hindu-Buddha di Jawa juga memengaruhi Bali. Dalam tarian Bali, tema tentang wanita kahyangan sering muncul. Tarian seperti misalnya Sang Hyang Dedari dan Legong menggambarkan wanita kahyangan menurut cara mereka. Di keraton Kesultanan Mataram, tradisi menampilkan penari kahyangan dalam tarian masih tetap ada dan tetap bagus. Tarian Bedhaya di keraton-keraton Jawa menampilkan bidadari.
Bidadari merupakan motif yang utama pada relief di kuil-kuil Angkor di Kamboja. Lukisan di kuil sering kali dibedakan menjadi dua macam penghuni kahyangan: Gambaran sosok makhluk yang menari atau dalam posisi tari, disebut "bidadari"; dan penggambaran sosok yang tegak berdiri, menghadap ke depan, dalam sikap selayaknya penjaga kuil, disebut "dewata".[8]
Ukiran bidadari biasanya ditemukan di Angkor Wat, kuil Angkor kuno yang terbesar. Para sarjana telah menghitung ada lebih dari 1.860 ukiran pada monumen abad ke-12 tersebut. Beberapa diukir pada pilar, beberapa pada tembok, kadang terletak di menara. Penelitian yang diumumkan pada tahun 1927 oleh Sappho Marchal telah mencatat perbedaan yang menarik tentang rambut, hiasan kepala, kain, permata dan bunga-bunga hiasan, yang disimpulkan oleh Marchal bahwa itu dibuat sesuai dengan kehidupan masyarakat selama zaman Angkor.[9]
Tarian Khmer klasik, yaitu seni pertunjukan seperti balet asli dari Kamboja, sering kali disebut "Tarian Bidadari". Konon tarian Khmer kalsik pada zaman sekarang dihubungkan dengan tradisi menari di istana raja-raja Angkor, yang terinspirasi dari mitologi tentang istana para dewa di kahyangan dan penarinya adalah para bidadari.
Bidadari juga merupakan motif yang penting dalam kesenian Champa, tetangga Angkor pada zaman pertengahan, terletak di sebelah timur sepanjang pantai yang sekarang dikenal sebagai Vietnam Tengah. Yang istimewa adalah penggambaran bidadari menurut aliran Tra Kieu, aliran seni yang berkembang antara abad ke-10 sampai abad ke-11 Masehi.
Umat Islam meyakini adanya makhluk yang disebut dengan istilah Huurin `Iin dalam al-Quran, dan diterjemahkan sebagai bidadari yang bermata jeli,[10] mereka digambarkan selalu perawan, dengan umur sebaya yang diciptakan langsung tanpa proses kelahiran,[11] dan digambarkan payudara mereka padat dan fisik mereka seperti gadis remaja.[12]
Memiliki kulit putih, bening, bersih dan lembut yang sempurna, diibaratkan seperti telur yang tersimpan dengan baik, dan ibaratkan pula para bidadari itu seperti permata yakut dan mutiara. Dijelaskan pula bahwa para bidadari itu sangat sopan, selalu menundukkan pandangannya, mereka tidak pernah disentuh oleh bangsa manusia atau jin.[13]